GardaPublik.id, Dalam dua periode pemerintahan Jokowi-Ma’ruf begitu banyak kontroversi yang terjadi dalam pengambilan kebijakannya. Terutama yang terkait dengan kesejahteraan rakyat.
Kenapa seperti itu?
Karena kebijakan-kebijakan tersebut bisa dipersepsikan hanya pada dua orientasi yaitu kalau bukan menguntungkan oligarki atau korporasi, pasti hanya menyengsarakan rakyat.
Secara umum, kebijakan-kebijakan ini pasti tidak mampu menciptakan perubahan yang signifikan dalam hal pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas pendidikan. Sehingga, secara umum, apapun kebijakan yang diambil dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak memiliki arti yang penting.
Salah satu kebijakan yang sangat kontra oleh Jokowi-Ma’ruf adalah UU Ciptakerja atau UU Omnibuslaw. Sampai saat ini, UU tersebut masih menuai kontroversi. Dimana hal tersebut dipandang oleh sebagian orang mengandung cacat pada proses pembahasannya yang melabrak banyak ketentuan hukum dan isinya lebih banyak menguntungkan oligarki dan lingkaran kelompok penguasa sendiri.
Ini tentu saja hal yang tidak masuk akal, karena seharuanya UU dibuat untuk menguntungkan masyarakat tetapi kenyataannya lebih banyak merugikan masyarakat. Yang terjadi kemudian adalah bahwa pemerintahan ini telah terang-terangan mengabaikan rasa keadilan dan bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila.
Selanjutnya kebijakan Jokowi mengenai pemindahan ibukota negara yang tertuang dalam UU IKN. Sebagian besar masyarakat kita memandang hal tersebut sangatlah tidak mendesak untuk di kerjakan dalam kondisi keuangan nagara saat ini dan tingginya tingkat kemiskinan serta keadaan pendidikan yang tidak merata.
Alasan terkuat kebijakan pemindahan IKN adalah akan dapat membuka peluang kerja baru serta mengundang banyak para investor asing. Namun, ketika kita mengevaluasi kebijakan tersebut sejauh ini tentunya lagi-lagi IKN adalah produk elite di mana hanya menguntungkan para oligarki dan korporasi beserta kelompoknya sendiri. Ini adalah sesuatu yang sangat miris dan tentunya lagi-lagi sangat mengusik rasa keadilan.
Kemudian, hal yang sangat tidak masuk akal Jokowi-Ma’ruf pada 3 September lalu, resmi telah menaikkan BBM bersubsidi. Berbagai macam taktik yang di gunakan hingga tiba pada penetapan kebijakan BBM tersebut sebenarnya sudah di canangkan jauh-jauh hari. Ini hanya taktik semata karena respon masyarakat sipil termasuk mahasiswa pasti tidak menerima hal tersebut karena di anggap sangat menyengsarakan.
Kenaikan BBM ini di picu semata-mata untuk menutupi APBN yang mengalami devisit. Padahal beban APBN sendiri dipergunakan untuk membiayai proyek IKN di mana hal tersebut sangat tidak mendesak. Ini juga hal yang sangat di sayangkan karena nyatanya pemerintah tampak tidak memiliki alternatif untuk menanggulangi devisit APBN. Padahal kita tahu, pemerintah seharusnya mengoptimalkan pendapatan APBN yang lain seperti bea/cukai dan pajak dan lain-lain.
Beberapa hari ini setelah kenaikan harga BBM, berbagai kalangan turun melakukan demonstrasi menolak termasuk lembaga mahasiswa, OKP serta ormas-ormas. Sehingga, kita bisa menga
ndaikan ketika bahwa Jokowi-Ma’ruf tidak mampu menanggapi gelombang demonstrasi ini maka akan terjadi kegaduhan yang akan sangat parah. Karena para mahasiswa dan masyarakat tidak akan berhenti melakukan demonstrasi penolakan BBM ini. Sehingga, tidak ada jalan lain selain membatalkan kebijakan kenaikan harga tersebut.
Pemerintah harusnya tahu kenapa hal tersebut sangatlah di tolak karena dampaknya akan memicu kenaikan harga bahan-bahan pokok lainnya dan itu menyangkut perut rakyat.
Kalau Jokowi masih memikirkan keharmonisan berbangsa dan bernegara maka tidak perlu gengsi untuk menarik kembali kebijakannya. Kita sadari bersama bahwa dalam negara demokrasi, kebijakan pemerintah harusnya diputuskan berdasarkan kepentingan rakyat. Karena pemerintah sendiri ada karena adanya rakyat. Maka, semua kebijakan tentu arahnya kepada kesejahteraan rakyat.
Penulis adalah :
Amirul Khalish Manik
Tokoh Pemuda Kepri dan pemerhati sosial yang berdomisili di Kota Batam