Gardapublik.id | Di era kemajuan IPTEK yang berkembang pesat saat ini, ternyata tidak berkorelasi positif terhadap penurunan populasi individu dalam kategori disabilitas atau berkebutuhan khusus, justeru yang terjadi sebaliknya. Secara statistic populasi anak berkebutuhan khusus atau disabilitas dari tahun ke tahun mengalami kenaikan secara signifikan. Menurut catatan Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia, populasi penyandang disabilitas di Indonesia 7,6 juta laki-laki dan 8,9 juta perempuan (Tribunenews.com, 26 Januari 2022). Diantara jumlah tersebut, menurut catatan Menteri Kesehatan sekitar 5,2 juta kategori usia sekolah (merdeka.com, 22 April 2022).
Tidak dipungkiri, tumbuh-kembangnya kesadaran orang tua/pihak keluarga terhadap problem penyandang disabilitas, pada awalnya akan menimbulkan kepanikan untuk segera mencari bantuan. Harapannya, kelak mereka dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal setelah mendapatkan layanan pendidikan dan intervensi yang sesuai dengan kebutuhannya. ”Di tengah kepanikan keluarga/orang tua penyandang disabilitas tersebut, momen ini ditangkap banyak pihak untuk menyediakan jasa layanan bantuan melalui berbagai intervensi dan treatment tertentu. Beragam janji yang ditawarkan oleh pihak lembaga terapi, mulai dari fasilitas, program intervensi serta ditangani tanaga profesional. Hasil penelusuran secara acak, ternyata fakta yang terjadi jauh dari yang diharapkan, Intervensi yang dilakukan tidak lebih dari kegiatan pengasuhan semata.
Program intervensi yang diberikan belum mengarah kepada layanan profesional untuk penyandang disabilitas, yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik, sosial dan moral”. Ujar Prof. Dr. Mohammad Efendi MPd., MKes. pada kegiatan “Workshop Identifikasi Akomodsdi Yang Layak bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus”, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi beberapa waktu lalu di Harris Hotel & Convention Surabaya.
Upaya untuk memberdayakan kemandirian penyandang kebutuhan khusus atau disabilitas agar kelak dapat berperan aktif sebagaimana layaknya manusia normal lainnya, memang bukan pekerjaan yang mudah seperti membalik telapak tangan. Sebab untuk itu, diperlukan upaya-upaya yang terencana secara sistematis, terarah dan terpadu antar berbagai pihak yang terkait dalam proses pendidikan dan rehabilitasinya, agar mereka mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat (Depnaker, 1999).
Atas dasar pertimbangan tersebut, idealnya seorang yang berprofesi sebagai fasilitator pengembangan kemandirian anak berkebutuhan khusus (disabilitas), selain menguasai basic keilmuan pendidikan umum, pendidikan khusus serta ilmu-ilmu lain terkait (kesehatan, psikologi, konseling, ortopedagogik) yang dapat membantu ketika fasilitator pendidikan khusus (ortopedagog) menjalankan tugas profesional. Pada tataran praktis, keberadaan ilmu-ilmu tersebut secara konseptual dan praktek harus melekat pada seseorang yang berprofesi sebagai fasilitator pendidikan khusus (ortopedagog). Profesionaltas seorang ortiopedagog akan nampak manakala yang bersangkutan dapat menjalankan tugas profesionalitasnya mulai dari kemahiran mengidentifikan dan mengasesmen klien, membuat keputusan kapabilitas klien, mengembangkan rancangan intervensi secara komprehensif, serta mengimplementasikan dan mengevaluasi kapabilitas klien pada setiap fase, serta merencanakan ulang intervensi lanjutan yang berbasis riset.
Dalam tataran formal, kemampuan tersebut dapat disetarakan dengan KKI level 8, artinya keahlian fasilitator pendidikan khusus (ortopedagog) dapat dicapat melalui Program Pendidikan Magister Terapan. “Asumsinya, seseorang yang memiliki Profesi Fasilitator Pendidikan Khusus harus mampu bersaing di tingkat global dalam mengembangkan dan menerapkan ilmu pendidikan khusus (ortopedagogia) yang berbasis riset.
Implikasinya, kompetensi yang harus dimiliki secara spesifik diantaranya: (1) Mampu mengembangkan pengetahuan, metode asesmen, dan intervensi layanan pendidikan khusus berbasis hasil riset; (2) Mampu menguasai teori, metode asesmen, dan intervensi layanan pendidikan khusus untuk memecahkan permasalahan individu berkebutuhan khusus; (3) Mampu mengelola riset yang hasilnya dapat diaplikasikan dalam memecahkan permasalahan individu berkebutuhan khusus dalam konteks individu, kelompok, komunitas, dan organisasi yang layak dipublikasikan; (4) Mampu mengelola dan praktik intervensi layanan pendididikan sesuai kode etik ortopedagogia Indonesia”.
“Atas dasar pertimbangan tersebut, sudah saatnya Asosiasi Ortopedagogik Indonesia (APOI) selaku organisasi profesi yang menaungi individu dan/atau perkumpulan sejenis (guru pendidikan khusus, forum prodi/dosen pendidikan khusus) perlu mengambil sikap proaktif untuk mengatur tatalaksana legalitas kewenangan seseorang yang berprofesi sebagai fasilitator terapi perilaku penyandang disabilitas atau berkebutuhan khusus (ortopedagog) yang akan berpraktek secara mandiri”. Ujar Ketua Departemen PLB FIP Universitas Negeri Malang sekaligus Founder Center for Innovation and Training in Special Education Malang, dalam sesi wawancara menyongsong peringatan Hari Disabilitas Internasional bertepatan pada tanggal 3 Desember 2022 (f&d,12.22).
Kehadiran anak berkebutuhan khusus dimanapun berada, senantiasa mengundang perhatian bagi orang-orang di seklilingnya, baik sesaat maupun berkelanjutan. Apapun tanggapan dari keluarga atau lingkungan masyarakat dalam memandang penyandang disabilitas atau berkebutuhan khusus akan menjadi dasar penyikapan mereka selanjutnya. Tentu saja, tanggapan lingkungan yang kurang positif atau menolak kehadirannya, tentu akan menyudutkan keberadaannya di tengah-tengah komunitas masyarakat normal dalam rangka melakukan fungsi kehidupannya.
Sebab hanya penyikapan yang positif dan wajar terhadapat kehadiran mereka, menjadi langkah awal pembuka jalan untuk menindaklajuti langkah-langkah berikutnya produktif berikutnya. Yang pasti seiring dengan kian meningkatnya kesadaran masyarakat dan orang tua penyandang disabilitas, kian memudahkan mereka untuk diberikan peluang mendapatkan layanan sesuai kebutuhan.
Apakah dalam prakteknya program andalan tersebut Penawaran yang menarik tersebut, berbanding terbalik dengan fakta yang ditandai dengan muncul produk-produk inovatif di bidang kesehatan semula diprediksikan dapat memberi dampak. Asumsinya, dengan makin meningkatnya kesadaran pentingnya kesehatan masyarakat dan lingkungan, kualitas hidup masyarakat juga semakin baik. Prediksi tersebut faktanya berbanding terbalik dengan meningkatnya populasi anak berkebutuhan khusus.
Tingginya populasi anak berkebutuhan khusus, tidak sebanding dengan ketersediaan akses untuk memperoleh layanan pendidikan dan intervensi sesuai kebutuhan. Di tengah kepanikan keluarga
Implikasi uraian di atas memberikan konsekeunsi bagi para pemangku kepentingan, mereka perlu berpikir untuk memberdayakan anak berkebutuhan khusus demikian disadari, bahwa
Esensi pemberdayaan bagi ABK untuk mencapai kemandirian, bukan saja memberikan nilai tambah bagi bagi anak berkebutuhan khusus itu sendiri tetapi juga bagi lingkungannya. Keberadaan ABK yang terdidik, kelak diharapkan akan tumbuhnya sikap kemandirian, dalam arti Individu yang mandiri yang mampu mererefleksikan kekuatan untuk mengatur sendiri, tindakan mengarahkan sendiri, tidak tergantung pada kehendak orang lain, serta hal untuk mengikuti kemauan sendiri. Individu yang mandiri adalah individu yang secara terintegratif memilih dan mengarahkan aktivitasnya sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Target jangka panjang tumbuhnya kemandirian yang adekuat pada ABK, selain mengurangi tingkat kebergantungan ABK pada orang lain, untuk investasi jangka panjang akan mengurangi pos pemeliharaan/perawatan.
Sebagai suatu sikap, kemandirian merupakan rangkaian akumulasi dari pemahaman, penghayatan, dan keterampilan yang tidak hanya diperoleh melalui proses belajar mengajar pada umumnya, melainkan lebih dari itu.
Sebab kemandirian memiliki karakter yang khas dan memerlukan proses yang mendalam dan intensif. Upaya meningkatkan kemandirian bukan hanya mendidik bagaimana peserta didik memahami konsepnya, tetapi juga mengarahkan bagaimana sikap mandiri peserta didik tertanam dalam hatinya. Karena itu pendidikan kemandirian bukan hanya mengetahui tentang nilai-nilai (learning about values), tetapi bagaimana seseorang belajar komitmen terhadap nilai (learning a commitment to value). Komitmen nilai membuat orang mau dan mampu melaksanakan nilai, dalam hal ini kemandirian bukan hanya pengetahuan orang tentang mandiri tetapi bagaimana orang itu mampu menjalankan kehidupannya sendiri secara terarah.
Memperhatikan pada output dan outcome yang ingin dicapai pada setiap jenjang pendidikan anak berkebutuhan khusus menuju kemandirian, kehadiran sosok pendidik ABK yang memiliki penguasaan subtansi metodologis bidang studi yang relevan, sekaligus terampil dalam memberikan layanan penunjang yang dibutuhkan peserta didik berkeutuhan khusus untuk mengembangkan diri mutlak diperlukan.
Peran GPK Profesional pada Sekolah Inklusif
Keberadaan ABK seagaimana disinggung pada uraian sebelumnya, distribusinya tidak selalu memusat pada wilayah tertentu. Kondisi ini memberikan kesulitan tersendiri untuk mengakomodasi ABK yang ingin memperoleh akses pendidikan khusus, seperti SLB yang selama menjadi opsi utama dalam mendidik anak berkebutuhan khusus.