GardaPublik.id, – Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah berdiri di Pulau Jawa pada abad ke-16 hingga abad ke-18. Berdirinya Mataram Islam menandai peralihan penting dalam sejarah politik dan kebudayaan di Jawa, serta memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan Islam di Nusantara.
Awal Berdirinya Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Sutawijaya, yang dikenal dengan gelar Panembahan Senapati, pada sekitar tahun 1586. Sutawijaya adalah anak angkat Ki Ageng Pemanahan, seorang pejabat dari Kesultanan Pajang yang dianugerahi tanah Mataram oleh Sultan Hadiwijaya sebagai tanda penghargaan atas jasanya. Setelah kematian Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya mengambil alih kekuasaan dan mendirikan Kerajaan Mataram Islam di atas tanah tersebut.
Masa Keemasan di Bawah Sultan Agung
Masa kejayaan Mataram Islam terjadi pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Sultan Agung adalah seorang raja yang visioner dan ambisius. Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan Mataram dengan menaklukkan beberapa kerajaan kecil di Jawa dan Madura. Di bawah pemerintahannya, Mataram Islam menjadi kekuatan dominan di Jawa Tengah dan Timur.
- Ekspansi Wilayah: Sultan Agung melakukan ekspansi besar-besaran, termasuk menyerang Kesultanan Banten dan Kesultanan Surabaya. Meskipun serangan terhadap Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1628 dan 1629 mengalami kegagalan, Sultan Agung berhasil memperluas pengaruh Mataram di seluruh Pulau Jawa.
- Pemerintahan dan Administrasi: Sultan Agung memperkenalkan sistem administrasi yang efisien dan terstruktur. Ia juga memodernisasi angkatan bersenjata dan memperkuat pertahanan kerajaan.
- Budaya dan Agama: Sultan Agung juga dikenal sebagai penguasa yang mendukung perkembangan seni, budaya, dan agama. Ia mempromosikan Islam sebagai agama kerajaan dan memperkenalkan kalender Jawa-Islam (Kalender Sultan Agung) yang menggabungkan sistem penanggalan Islam dan Jawa.
Perpecahan dan Kemunduran
Setelah wafatnya Sultan Agung, Mataram Islam mulai mengalami masa kemunduran. Pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, menghadapi banyak masalah internal dan eksternal yang melemahkan kerajaan.
- Masalah Internal: Pemerintahan Amangkurat I (1646-1677) ditandai oleh konflik internal dan ketidakpuasan di kalangan bangsawan dan rakyat. Amangkurat I dikenal sebagai raja yang otoriter dan tidak populer.
- Campur Tangan VOC: Perpecahan internal di Mataram dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. VOC mulai campur tangan dalam urusan internal Mataram, yang akhirnya melemahkan kekuasaan kerajaan.
- Pemberontakan Trunajaya: Pada tahun 1674, Trunajaya, seorang bangsawan Madura, memimpin pemberontakan besar melawan Amangkurat I. Pemberontakan ini berhasil mengguncang kekuasaan Mataram dan mengakibatkan kematian Amangkurat I pada tahun 1677. Trunajaya akhirnya berhasil ditaklukkan dengan bantuan VOC, tetapi kekuasaan Mataram telah melemah secara signifikan.
Transisi Menjadi Kesultanan dan Akhir Kekuasaan
Pada abad ke-18, Mataram Islam mengalami perpecahan besar yang menyebabkan terbentuknya beberapa kesultanan kecil. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 membagi Mataram menjadi dua: Kesultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwono I dan Kasunanan Surakarta di bawah Sunan Pakubuwono III.
- Perjanjian Giyanti: Perjanjian ini ditandatangani oleh VOC dan para pewaris Mataram sebagai cara untuk mengakhiri konflik internal yang berkepanjangan. Pembagian ini menandai berakhirnya Kerajaan Mataram Islam sebagai entitas politik yang bersatu.
- Warisan Mataram Islam: Meskipun kerajaan ini berakhir, warisan budaya dan pengaruh Islam dari Mataram Islam tetap kuat di Jawa. Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta masih memegang peran penting dalam budaya dan tradisi Jawa hingga saat ini. (Red)