GardaPublik.id, – Setiap masyarakat memiliki tradisi unik yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka. Tradisi tersebut sering kali berakar dari nilai-nilai dan kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, tradisi lokal yang kuat mencerminkan pandangan hidup masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi spiritualitas dan hubungan sosial. Salah satu tradisi yang menonjol adalah weh-wehan, yang dilakukan dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tradisi sebagai Bagian Kebudayaan
Tradisi, sebagai salah satu unsur dari kebudayaan, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia. Setiap tindakan manusia hampir selalu merupakan hasil dari kebudayaan yang diwariskan dan dipelajari. Dalam konteks ini, budaya tidak hanya bersumber dari ajaran agama, tetapi juga dipengaruhi oleh unsur geografis, ekonomi, teknologi, dan politik yang ada di sekitar mereka. Adanya benturan berbagai kebudayaan kerap kali menghasilkan asimilasi dan akulturasi, menciptakan budaya baru yang khas.
Di Kaliwungu, masyarakat dikenal masih meyakini kekuatan benda-benda sakral, suatu keyakinan yang sejalan dengan filosofi hidup orang Jawa yang religius sekaligus mistis. Namun, keyakinan ini tidak menghambat hubungan sosial mereka. Masyarakat Kaliwungu terkenal terbuka dan ramah, terutama terhadap para santri yang datang untuk belajar di pesantren. Sikap saling menghormati dan gotong royong sangat kental terasa di daerah ini.
Makna Religius dalam Tradisi Weh-Wehan
Sebagai masyarakat yang mayoritas beragama Islam, tradisi peringatan Maulid Nabi menjadi salah satu momen penting dalam kehidupan keagamaan warga Kaliwungu. Tradisi ini dirayakan dengan kegiatan weh-wehan, yaitu saling memberi makanan sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini bukan hanya dianggap sebagai adat, tetapi juga memiliki nilai teologis yang kuat, dipandang sebagai bagian dari ajaran Islam yang mendukung kebaikan dan sedekah.
Weh-wehan biasanya dilakukan dengan cara membagikan makanan kepada tetangga atau kerabat, dan yang diutamakan sebagai pengantar makanan adalah anak-anak. Tujuannya adalah untuk mengajarkan sejak dini kepada anak-anak tentang pentingnya bersedekah dan menumbuhkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Selain itu, kegiatan ini juga menanamkan nilai kepedulian sosial dan kebersamaan dalam masyarakat.
Sodaqoh di Bulan Maulid
Dalam tradisi weh-wehan, masyarakat Kaliwungu memperbanyak sedekah, terutama pada bulan Rabiul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Para ulama menganjurkan umat Islam untuk meningkatkan sedekah di bulan ini, karena dianggap memiliki keutamaan tersendiri. Sedekah yang dilakukan pada hari kelahiran Nabi tidak hanya sebagai bentuk ibadah, tetapi juga sebagai wujud rasa syukur dan kecintaan kepada Rasulullah.
Weh-wehan sendiri tidak dianggap sebagai tradisi yang memberatkan masyarakat. Tidak ada patokan tertentu tentang jenis atau jumlah makanan yang harus diberikan, sehingga setiap keluarga bebas memberi sesuai kemampuan mereka. Nilai gotong royong dan kebersamaan sangat kental terlihat dalam tradisi ini, di mana setiap orang berpartisipasi dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
Dampak Sosial dan Aqidah
Dari segi aqidah, tradisi weh-wehan semakin mendekatkan masyarakat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kegiatan ini memperkuat ukhuwah Islamiayah dan hubungan spiritual di antara sesama umat Islam. Dari segi sosial, tradisi ini menciptakan harmoni dan kerukunan antarwarga. Meski sebagian kecil masyarakat Kaliwungu tidak beragama Islam, mereka tetap menghormati dan bahkan ada yang ikut serta dalam tradisi ini.
Sikap toleransi dan rasa saling menghargai sangat tercermin dalam kehidupan masyarakat Kaliwungu. Kehadiran tradisi weh-wehan justru mempererat tali silaturahmi antarwarga, baik yang beragama Islam maupun non-Islam. Hal ini terlihat dari partisipasi umat Kristen di desa Kutoharjo, yang turut serta merayakan tradisi tersebut meski tidak ikut dalam pembacaan shalawat atau janjenan. (Red)